Sabtu, 24 Maret 2012

Mewaspadai budaya korupsi

Korupsi, siapa di Indonesia yang tidak pernah mendengar kata ini? rasanya hampir bisa dipastikan tidak ada.  Kita semua merasakan dampak negatif dari budaya yang buruk ini. Korupsi memang sudah menjadi budaya di berbagai kalangan, baik pemerintah ataupun swasta.  Betapa banyaknya anggaran yang terserap habis oleh proyek-proyek fiktif atau kegiatan-kegiatan mubadzir yang tidak sesuai dengan laporan pertanggungjawabannya.  Betapa besar selisih antara jumlah yang tertera di kwitansi dengan jumlah uang yang sebenarnya diterima atau dipergunakan.  Sehingga, banyak orang mengutuk para pengusa dan aparat pemerintah yang korup dan lebih suka menumpuk kekayaan daripada mengurusi rakyatnya sendiri. Baik melalui musik dan lagu, demonstrasi ataupun di berbagai situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.  Namun, semua kritikan, kecaman dan caci maki nan pedas itu hanya dianggap seperti angin lalu.  Para koruptor itu terus menerus mengeruk keuntungan dan menumpuk kekayaan tanpa peduli pada apapun di sekitar mereka. 

Korupsi yang dilakukan para penguasa beserta aparat pemerintahannya telah menjatuhkan negeri yang kaya ini ke dalam jurang keterpurukan yang sangat dalam.  Keterpurukan itu membuat semakin banyak rakyat yang terjebak dalam kemiskinan dan keterbelakangan.  Kemiskinan dan keterbelakangan membuat banyak orang jadi frustasi serta apatis hingga mereka pun menghalalkan segala cara.  Korupsi kecil-kecilan, sogok menyogok dan pemalsuan beragam dokumen menjadi jalan pintas yang mereka tempuh untuk mendapatkan pekerjaan atau tambahan penghasilan. 

Seorang office boy misalnya, bisa saja meminta nota kosong kepada kios fotocopy langganannnya agar dia bisa me-mark up jumlah uang yang akan diganti oleh kantor tempat dia bekerja.  Jika perlu, dia membagi sebagian hasil mark-up itu dengan sang operator fotocopy sebagai uang "tutup mulut". Sehingga, pengeluaran kantor pun menjadi lebih banyak daripada yang seharusnya dan beban keuangannya menjadi semakin berat.  Demikian pula seorang supir bisa pula me-mark up uang bensin yang akan dia tagihkan ke bagian keuangan kantor tempatnya bekerja.  Lumayan, bisa dapat uang tambahan untuk sekedar beli rokok atau minuman ringan tanpa mengurangi gaji atau uang makan.  Sisanya, itu sih urusan belakangan.  Maka, jika supir dan office boy saja bisa melakukan korupsi seperti itu, bagimana lagi dengan mereka yang lebih tinggi jabatannya?

Pemalsuan ijazah dan sertifikat pun seringkali bisa dilakukan di rental komputer atau warnet.  Sebagian warnet memang ada yang membuka jasa pengetikan dengan mengenakan beban biaya tertentu per lembar.  Terkadang, ada saja oknum pelamar kerja yang minta dibuatkan ijazah atau sertifikat palsu.  Ditambah stempel palsu dan sedikit uang pelicin, muluslah jalan si pelamar kerja untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan impiannya.  Perkara nanti ada yang celaka karena hasil pekerjaan pekerja yang tidak memenuhi syarat, itu urusan belakangan.  Sehingga, tidak mengherankan apabila jalan-jalan di berbagai kota di negeri ini cepat sekali rusak atau ada jembatan yang ambruk karena konstruksinya dibuat oleh orang berkompetensi asal-asalan. 

Mental korup yang terbentuk dari budaya korupsi yang merajalela itu pada akhirnya membuat rakyat jatuh dalam cengkraman para penguasa yang korup pula.  Di musim pemilu dan pilkada, sudah merupakan rahasia umum betapa mudahnya meraup suara masyarakat hanya dengan membagi-bagi lembaran uang 20 atau 50 ribu rupiah.  Mumpung ada pemilu atau pilkada, mereka pun berlomba meraih uang sogok, kaos atau sembako sebagai bentuk money politic dari kandidat yang hendak berlaga di ajang politik tersebut.  Perkara nanti menderita di bawah kekuasaan yang zalim dan korup selama 5 tahun, itu urusan belakang.  Yang penting nikmati dulu rezeki nomplok yang dibagi-bagikan itu.  Pada akhirnya, kenyataan pahit ini membuat kita bertanya-tanya, siapakah koruptor yang sesungguhnya? Para pemimpinkah atau rakyat itu sendiri.  Sulit untuk mencari jawabannya karena memang lingkaran setan budaya korupsi itu telah terbentuk sejak lama. 

Referensi: Tarbiyah Finansial, Dwi Suwiknyo

Tidak ada komentar: