Jumat, 30 Maret 2012

SURAT TERBUKA UNTUK PARA KANDIDAT PESERTA PILKADA DKI 2012

Bapak-bapa sekalian, sebentar lagi bapak-bapak semua akan berlaga di ajang Pilkada DKI Jakarta di tahun 2012 ini.  Tentu saja Bapak-bapak sekalian sudah mengetahui bahwa sesungguhnya kekuasaan itu adalah amanah dan tanggung jawab disamping tentu saja merupakan nikmat dan anugerah.  Kekuasaan adalah juga merupakan ujian dan fitnah yang sangat berat.  Sebagaimana semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin yang menerpa, bagitu pula kekuasaaan.  Kekuasaan juga bisa menjadi bumerang yang akan menghancurkan pemegangnya sebagainya telah dibuktikan dalam rentang sejarah yang amat panjang.  Bahkan, bukan tidak mungkin kekuasaan itu adalah caraNya menghinakan dan menghancurkan para penguasa seperti Firaun, Namrudz dan banyak tiran lainnya.

Bapak-bapak sekalian, kota Jakarta ini telah lama menjelma menjadi SODOM DAN GOMORAH moderen yang dipenuhi dengan dosa, maksiat, dendam dan kejahatan.  Bangunan-bangunannya seperti MENARA BABEL yang angkuh menentang kekuasaan Tuhan.  Dalam bangunan-bangunan itu, segala macam kejahatan seperti perzinaan, korupsi, manipulasi dan sebagainya terjadi.  Tuhan hanya disembah sebentar di ruang-ruang tertentu nan suci sementara setelah itu dihina, dilecehkan dan dicampakkan ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari.  Banyak diantara bangunan-bangunan megaproyek itu hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya berharta melimpah.  Entah halal entah haram yang penting mereka mampu dan mau membayar segala fasilitas tersebut.  Sedangkan untuk mereka yang miskin dan lemah ekonomi, silakan hanya memandang penuh rasa iri dan dengki pada mereka yang bisa menikmati surga dunia seperti itu.  Bahkan, banyak diantara mereka yang kehilangan tempat tinggal dengan ganti rugi yang tidak memadai. 

Apakah bapak-bapak sekalian mengetahui bahwa korupsi dan manipulasi telah menjadi penyakit kronis yang menjangkiti seluruh lapisan masyarakat.  Budaya merusak itu bukan hanya di kalangan pejabat saja namun juga sudah dilakukan para office boy dan orang-orang suruhan.  Mereka seringkali meminta para operator fotocopy atau warnet untuk membuatkan bon kosong agar dapat diisi sendiri jumlahnya sesuai dengan keinginan.  Lumayan untuk membeli rokok, cemilan atau minuman ringan tanpa harus mengurangi gaji atau uang makan.  Mereka sama sekali tidak peduli jika kantor atau tempat mereka bekerja harus menanggung beban keuangan yang lebih berat daripada yang seharusnya.  Mereka juga tidak peduli apabila si operator yang terpaksa membuat bon kosong itu tertekan batinnya dan tersiksa hati nuraninya oleh perasaan bersalah yang sangat dalam.  Entah karena egoisme dan ketamakan sudah mengusai jiwa mereka atau karena memang sudah apatis dengan kehidupan yang serba sulit ini. 

Pemalsuan dokumen pun sudah tidak terhitung lagi banyaknya.  Sertifikat yang seharusnya menjadi bukti bahwa seseorang itu kompeten dalam melakukan suatu pekerjaan ternyata sangat mudah dipalsukan.  Di warnet atau rental yang menyediakan jasa pengetikan, banyak orang meminta untuk dibuatkan sertifikat-sertifikat palsu seperti itu.  Mereka sangat berambisi mendapatkan dokumen-dokumen palsu seperti itu demi mendapatkan pekerjaan.  Entah karena mereka memang terpaksa karena harus bertahan hidup atau memang tergiur akan besarnya penghasilan yang bisa didapat dari pekerjaan tersebut.  Mereka lupa bahwa sertifikat itu hanyalah selembar kertas tak berguna apabila orang yang namanya tercantum tidak kompeten sama sekali.  Tidak mengherankan apabila jalan-jalan banyak yang rusak, jembatan banyak yang ambruk dan entah berapa banyak lagi kerusakan dan kehancuran yang telah, sedang dan akan terjadi.  Slip gaji palsu pun dengan mudah bisa dibuat agar si pembuat bisa mengambil kredit motor atau barang-barang yang lain.  Perkara nanti yang mengambil kredit terpaksa berurusan dengan debt kolektor atau ngemplang sekalian, itu bisa diatur belakangan.  Ini bisa diatur, itu urusan belakang memang ciri khas bangsa Indonesia yang lucu namun tidak lucu ini.  Padahal yang katanya bisa diatur belakangan itu sama sekali tidak sederhana, bahkan bisa jadi sangat rumit dan mengerikan.  Sangat amat mengerikan.   

Tulisan ini hanyalah sedikit gambaran dari manusia-manusia yang akan Bapak-Bapak sekalian pimpin, bimbing dan ayomi.  Sungguh tidak sulit untuk meraup suara dari orang-orang seperti itu.  Asal ada cukup dana, kaos dan merchandise untuk dibagi-bagi, serta korlap yang terampil mengendalikan massa, hal itu sudah cukup.  Tebarkan saja pesona dan sensasi serta  janji-janji manis setinggi langit seluas bumi.  Biarkan mereka mabuk kesenangan saat pesta demokrasi berlangsung serta menikmati uang lelah atas kesediaan mereka memeriahkan kampanye yang Bapak-Bapak selenggarakan.  Dan, suara pun akan mengalir memenuhi pundi-pundi politik Bapak-Bapak sekalian sehingga muluslah jalan menuju tahta dan kekuasaan.  Itulah mekanisme demokrasi di negeri yang rakyatnya sama sekali tidak siap untuk berdemokrasi.   Masalah dan perjuangan sebenarnya baru dimulai saat ada diantara Bapak-Bapak yang sudah berhasil meraih kekuasaan.  Janji-janji surgawi yang telah ditebarkan tentu harus dipenuhi, meskipun para pemilih yang pendek ingatan serta mudah dikelabui mungkin tidak ingat lagi. 

Surat ini adalah ungkapan keprihatinan seorang rakyat kecil yang mengalami sendiri penderitaan batin akibat kecurangan dan korupsi yang terjadi persis di depan mata kepalanya.  Surat ini bukan untuk mengajak pembacanya untuk "Golput" atau tidak menjatuhkan pilihan pada para kandidat tersebut.  Namun, juga bukan untuk mendukung salah satu calon.  Tidak lebih hanya untuk interospeksi, baik untuk para penulisnya atau siapapun yang membaca. 

Sabtu, 24 Maret 2012

Mewaspadai budaya korupsi

Korupsi, siapa di Indonesia yang tidak pernah mendengar kata ini? rasanya hampir bisa dipastikan tidak ada.  Kita semua merasakan dampak negatif dari budaya yang buruk ini. Korupsi memang sudah menjadi budaya di berbagai kalangan, baik pemerintah ataupun swasta.  Betapa banyaknya anggaran yang terserap habis oleh proyek-proyek fiktif atau kegiatan-kegiatan mubadzir yang tidak sesuai dengan laporan pertanggungjawabannya.  Betapa besar selisih antara jumlah yang tertera di kwitansi dengan jumlah uang yang sebenarnya diterima atau dipergunakan.  Sehingga, banyak orang mengutuk para pengusa dan aparat pemerintah yang korup dan lebih suka menumpuk kekayaan daripada mengurusi rakyatnya sendiri. Baik melalui musik dan lagu, demonstrasi ataupun di berbagai situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.  Namun, semua kritikan, kecaman dan caci maki nan pedas itu hanya dianggap seperti angin lalu.  Para koruptor itu terus menerus mengeruk keuntungan dan menumpuk kekayaan tanpa peduli pada apapun di sekitar mereka. 

Korupsi yang dilakukan para penguasa beserta aparat pemerintahannya telah menjatuhkan negeri yang kaya ini ke dalam jurang keterpurukan yang sangat dalam.  Keterpurukan itu membuat semakin banyak rakyat yang terjebak dalam kemiskinan dan keterbelakangan.  Kemiskinan dan keterbelakangan membuat banyak orang jadi frustasi serta apatis hingga mereka pun menghalalkan segala cara.  Korupsi kecil-kecilan, sogok menyogok dan pemalsuan beragam dokumen menjadi jalan pintas yang mereka tempuh untuk mendapatkan pekerjaan atau tambahan penghasilan. 

Seorang office boy misalnya, bisa saja meminta nota kosong kepada kios fotocopy langganannnya agar dia bisa me-mark up jumlah uang yang akan diganti oleh kantor tempat dia bekerja.  Jika perlu, dia membagi sebagian hasil mark-up itu dengan sang operator fotocopy sebagai uang "tutup mulut". Sehingga, pengeluaran kantor pun menjadi lebih banyak daripada yang seharusnya dan beban keuangannya menjadi semakin berat.  Demikian pula seorang supir bisa pula me-mark up uang bensin yang akan dia tagihkan ke bagian keuangan kantor tempatnya bekerja.  Lumayan, bisa dapat uang tambahan untuk sekedar beli rokok atau minuman ringan tanpa mengurangi gaji atau uang makan.  Sisanya, itu sih urusan belakangan.  Maka, jika supir dan office boy saja bisa melakukan korupsi seperti itu, bagimana lagi dengan mereka yang lebih tinggi jabatannya?

Pemalsuan ijazah dan sertifikat pun seringkali bisa dilakukan di rental komputer atau warnet.  Sebagian warnet memang ada yang membuka jasa pengetikan dengan mengenakan beban biaya tertentu per lembar.  Terkadang, ada saja oknum pelamar kerja yang minta dibuatkan ijazah atau sertifikat palsu.  Ditambah stempel palsu dan sedikit uang pelicin, muluslah jalan si pelamar kerja untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan impiannya.  Perkara nanti ada yang celaka karena hasil pekerjaan pekerja yang tidak memenuhi syarat, itu urusan belakangan.  Sehingga, tidak mengherankan apabila jalan-jalan di berbagai kota di negeri ini cepat sekali rusak atau ada jembatan yang ambruk karena konstruksinya dibuat oleh orang berkompetensi asal-asalan. 

Mental korup yang terbentuk dari budaya korupsi yang merajalela itu pada akhirnya membuat rakyat jatuh dalam cengkraman para penguasa yang korup pula.  Di musim pemilu dan pilkada, sudah merupakan rahasia umum betapa mudahnya meraup suara masyarakat hanya dengan membagi-bagi lembaran uang 20 atau 50 ribu rupiah.  Mumpung ada pemilu atau pilkada, mereka pun berlomba meraih uang sogok, kaos atau sembako sebagai bentuk money politic dari kandidat yang hendak berlaga di ajang politik tersebut.  Perkara nanti menderita di bawah kekuasaan yang zalim dan korup selama 5 tahun, itu urusan belakang.  Yang penting nikmati dulu rezeki nomplok yang dibagi-bagikan itu.  Pada akhirnya, kenyataan pahit ini membuat kita bertanya-tanya, siapakah koruptor yang sesungguhnya? Para pemimpinkah atau rakyat itu sendiri.  Sulit untuk mencari jawabannya karena memang lingkaran setan budaya korupsi itu telah terbentuk sejak lama. 

Referensi: Tarbiyah Finansial, Dwi Suwiknyo