Senin, 10 September 2018

Ego dan Narsisme

"People will forget what you say, people will forget what you do but people will NEVER forget how you made them FEEL".

Maya Angelou

Sesudah Narcissus terjatuh ke danau dan meninggal dunia, danau itu pun menangis dan airnya menjadi asin. Tumbuh-tumbuhan layu dan meranggas dan seluruh penghuni danau itu pun mati satu demi satu. Para peri hutan pun mendatangi sang danau dan bertanya "Wahai Danau, apakah kau menangisi kematian Narcissus?". "Tidak" jawab Danau. "Lalu apa yang membuatmu menangis?" tanya para peri hutan lebih lanjut. "Aku menangis karena aku tidak lagi bisa melihat keindahan diriku terpantulkan pada kedua bola matanya" jawab Danau.

Legenda Narcissus dan Danau yang merupakan bagian dari mitologi Yunani itu seakan menggambarkan betapa besarnya hasrat manusia untuk dianggap penting. Bahkan, Abraham Maslow menempatkan self actualization atau aktualisasi diri sebagai hierarki tertinggi dalam teorinya tentang motivasi.

Sudah menjadi fitrah bagi manusia untuk membuat dirinya merasa penting, disukai dan dibutuhkan. Sebagaimana Narcissus yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri dan Danau yang menikmati keindahan dirinya di bola mata pemuda tersebut, begitu pulalah kiranya manusia menikmati sensasi puja dan puji dari sesamanya.

Di saat semua sirna, manusia pun terpuruk dalam jurang kehancuran yang tidak terhingga dalamnya. Kecewa, depresi dan putus asa pun menjadi teman sehari-hari dan bahkan ada yang sampai mengantar ke gerbang maut dengan cara bunuh diri. Nauzubillah min dzalik.

Legenda Narcissus dan Danau di atas memang sering dijadikan penggambaran tentang ego manusia.

Ego manusia bagaikan tanah liat yang dibakar hingga menjadi tembikar atau gerabah. Barang-barang dari tembikar memang terlihat kuat dan keras namun sesungguhnya rapuh. Tidak mengherankan jika kita mengunjungi toko yang menjual barang-barang seperti itu, kita seringkali melihat peringatan yang berbunyi "Pecah berarti Membeli". Demikian pula ego manusia, yang terlihat angkuh, keras dan arogan namun sesungguhnya rapuh dan mudah pecah berkeping-keping.

Materialisme dan hedonisme adalah api membakar ego tersebut hingga menjadi keras seperti tembikar dibakar dalam tungku. Maka, tidak mengherankan apabila ada manusia yang sangat sulit untuk memaafkan dan memperbaiki hubungan-hubungan yang telah rusak.  Mereka sangat enggan menyambung kembali silaturahim yang terputus.

Jarang sekali ada manusia yang menyadari bahwa semua manusia itu penting. Tidak ada satupun manusia yang tercipta sia-sia sebagaimana dinyatakan oleh Sang Penciptanya "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (Q.S. Ali Imran [3]: 191)".

Bahkan orang-orang paling kejam, jahat dan menjengkelkan pun sesungguhnya punya sesuatu untuk dipelajari.

Di balik setiap ego yang mengeras dan membatu tersebut terdapat perasaan yang lembut dan halus, yang menanti kedatangan dan sentuhan orang-orang yang tepat untuk membuatnya menyadari keindahan yang terdapat di dalamnya. Lagipula, meminjam motto dari sebuah komunitas Life Sharing (berbagi kisah kehidupan)bernama School of Life, "Jika setiap tempat adalah sekolah, maka semua orang adalah guru".

Semoga bermanfaat :)

Referensi:

Kecerdasan Ruhaniah, KH. Toto Tasmara,

Senin, 12 Maret 2018

Untung Ada Grab


Sesudah Isya, saya masih di kantor karena ada yg masih dikerjakan.
Yang jaga malem gak tahu saya masih di dalam. Pintu keluar gudang pun dikunci.

Akhirnya, saya pun terkunci di gudang gak bisa keluar. Karena keluarnya memang lewat gudang. Udah pintunya diketok ketok, tetap saja gak dibukakan. Akhirnya, saya ada ide panggil driver Grab. Selain untuk antar pulang, saya sekaligus minta tolong abang Grab buat manggil yang pegang kunci gudang.

Akhirnya, selamat deh sampe di rumah tanpa harus nginep di kantor.

Alhamdulillah