Rabu, 23 Mei 2012

[Sosial] Bon Kosong dan Kerentanan Sosial

Sebut saja namanya Udin.  Seorang pemuda yang hanya lulusan SMP ini beruntung mendapat pekerjaan sebagai seorang office boy di sebuah kantor.  Salah satu tugas Udin adalah memfotokopi berkas-berkas dari kantor.  Memang, selain gaji bulanan, Udin juga dapat uang makan dan tunjangan lainnya walau tidak terlalu besar.  Namun, karena banyaknya dokumen yang harus difotocopy, Udin kadang terpaksa menggunakan uangnya sendiri terlebih dahulu untuk membayar biaya fotokopi untuk kemudian ditagihkan ke bagian keuangan di kantornya.  Untuk bisa mendapat penggantian itu, Udin harus memberikan bukti berupa bon dari kios fotokopi langganan kantor.  Namun, karena pengaruh lingkungan yang kurang baik dan kecanduannya akan rokok, Udin mulai berbuat curang.  Saat melaksanakan tugasnya untuk memfotocopi dokumen-dokumen kantor, dia meminta pada operator dibuatkan bon kosong. Bon itu dia isi sendiri agar ada uang lebih yang bisa dia kantongi.  Udin memang seorang sudah lama menjadi seorang perokok sehingga dengan uang mark-up itu dia bisa membeli rokok tanpa harus mengurangi gaji dan uang makan. Manipulasi tersebut berlangsung lancar dalam waktu cukup lama. Namun, seperti kata pepatah sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga, terjadilah sesuatu yang ada di luar perhitungan Udin.  Ibu Ani, kepala bagian keuangan di kantor tersebut, menemukan sebuah bon kosong yang benar-benar kosong.  Tidak ada sedikitpun angka yang tertera di sana.  Karena curiga, Ibu Ani pun memanggil Udin dan menanyakan perihal bon kosong itu.  Udin tidak bisa mengelak dan terpaksa mengakui perbuatannya. Udin pun dipecat dari pekerjaannya dan sampai sekarang dia masih menganggur.  Ijazahnya yang hanya sampai SMP dan kredibiltasnya yang sudah tercoreng gara-gara markup bon kosong yang dilakukannya membuat Udin kesulitan mendapatkan pekerjaan baru.

Lain lagi dengan Raihan. PEmuda yang sudah lama menganggur itu suatu saat melihat pengumuman penerimaan pegawai di salah satu warnet yang menjadi langganannya.  Raihan pun menemui pemilik warnet dan mengatakan ingin bekerja di sana.  Setelah diwawancarai dan diuji kemampuannya mengoperasikan komputer, Raihan pun diterima di sana.  Memang, mula-mula Raihan merasa enjoy bekerja di sana walaupun pekerjaannya tidak terlalu bergengsi. Yang penting kantongnya terisi uang lagi walau tidak terllau tebal. Namun sayang seribu sayang, setelah beberapa lama bekerja, Raihan mulai merasakan adanya sesuatu yagn tidak beres.  BAnyak para pelanggan yang meminta dibuatkan bon kosong.  Termasuk orang-orang yang bekarja di sebuah proyek Superblok yang sedang berlangsung di dekat warnet tempat Raihan bekerja.  Raihan memang dapat memahami bahwa para pekerja tersebut mengganggap meminta dibuatkan bon kosong bukanlah kejahatan serius.  Toh para pemilik modal di Mega Proyek Superblok itu masih punya banyak uang, begitu pikir mereka.  Namun, yang paling menyiksa batin Raihan adalah rasa berdosa yang timbul setiap kali dia terpaksa melakukan hal buruk tersebut.

Sebagai seorang pemuda yang cukup memahami ajaran agamanya yaitu Islam, Raihan tahu bahwa memberikan kesaksian palsu, termasuk dalam bentuk bon kosong, adalah dosa besar.  Tidak peduli apakah selisih antara jumlah uang yang tertera dalam bon tersebut dan jumlah sebenarnya sedikit atau banyak.  Apakah selisihnya hanya 5000 rupiah atau 5 juta rupiah, keduanya sama-sama dosa besar.  Memang, kadang Raihan berhasil menolak membuatkan bon kosong itu walaupun dengan perjuangan yang alot, namun terkadang dia gagal.  Dengan berat hati, dia pun terpaksa menandatangani sebagian bon kosong tersebut, apalagi saat si klien sudah mengancam.  Akhirnya, dengan berat hati Raihan pun menemui pemilik warnet dan mengundurkan diri dari pekerjaannya.  Raihan pun kini terpaksa kembali mengisi hari harinya dengan perjuangan mencari pekerjaan yang sesuai.

Kedua ilustrasi di atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia ini masih budaya meremehkan hal-hal buruk yang dianggap kecil.  Kita seringkali lupa bahwa bencana dan kerusakan besar selalu dimulai dari hal-hal yang kecil.  Pak Ahyudin, presiden Aksi Cepat Tanggap, sebuah lembaga sosial yang biasa menangani bencana-bencana yang terjadi di Indonesia, mengatakan bahwa bencana sebesar apapun berawal dari kerentanan, baik kerentanan alam ataupun kerentanan sosial. Jika kerentanan-kerentanan itu dianggap remeh dan tidak segera diatasi, bencana dan kerusakan yang lebih besar akan menanti.  Korupsi kecil-kecilan dengan modus bon kosong seperti pada beberapa ilustrasi di atas adalah contoh kerentanan sosial yang seringkali diremehkan.  Kejahatan seperti itu pada akhirnya membawa bencana kepada si pelaku dan orang-orang yang dekat dengannya.  Ada pula yang akhirnya dipecat dan ada pula yang mengundurkan diri karena tidak tahan menahan rasa sakit hati dan perasaan berdosa yang dalam. Banyak pula yang terjerumus ke dalam dunia hitam kejahatan karena sudah terlalu sakit hati, frustasi dan putus asa. 

Budaya korupsi memang sudah menjangkiti negeri ini sampai ke tingkat strata sosial terendah.  Jika seorang office boy saja bisa melakukan korupsi dan manipulasi dengan modus bon kosong seperti pada kisah-kisah di atas, apalagi yang tingkatnya lebih tinggi. Jika seorang office boy bisa memanipulasi tagihan dengan segala cara, termasuk dengan bon kosong, maka seoerang pejabat tinggi bisa lebih leluasa lagi melakukan kejahatan seperti itu.  Hanya dengan coretan tanda tangannya, proyek yang sebenarnya bermasalah atau diragukan urgensinya untuk kepentingan masyarakat bisa lolos dan dilaksanakan.  Akibatnya, beban keuangan yang ditanggung negara makin berat, rakyat makin banyak yang miskin dan kerentanan sosial yang berpotensi menimbulkan bencana makin meluas. Sudah saatnya masyarakat bangkit dan melawan budaya korup, markup dan bon kosong seperti yang terjadi selama ini agar tidak menimbulkan bencana-bencana yang besar dan menimbulkan kerugian berat di kemudian hari.

Semoga bermanfaat

Referensi:

Tarbiyah Finansial, Dwi Swiknyo, Diva Press
Pemimpin Negeri Bencana 




Dipersembahkan oleh Distromuslim dot net