Senin, 10 November 2014

Yang Penting Kuantitas, Bukan Kualitas



Kalau  tidak salah, zaman dahulu saat saya masih kecil, nonton TV harus bayar iuran. Maklum, waktu itu yang ada hanya TVRI, TV Swasta belum tayang. Sehingga, seingat saya, yang namanya TV masih belum ada iklannya. Lalu, sekitar akhir dekade 80an dan awal 90an, mulailah TV Swasta bermnuculan satu demi satu. Meskipun ada iurannya juga, dan lumayan mahal, tv swasta itu juga menayangkan iklan di sela-sela tayangannya. Sehingga, kadang kenikmatan menonton seringkali terganggu lantaran iklan-iklan yang berseliweran di layar kaca tersebut. Bahkan, akhirnya iuran TV swasta pun tidak ada lagi. Konsekwensinya, semua pemasukan stasiun TV swasta itu pun hanya dari iklan-iklan yang ditayangkan.

Namun, karena harus mengejar rating, maka acara-acara tv swasta pun makin aneh bin ajaib. Mengejar sensasi, lupa akan esensi, menguber kuantitas lupa akan kualitas. Efek suatu tayangan pada moralitas, apalagi akidah para pemirsanya, terutama mereka yang masih di bawah umur, tidak lagi penting untuk dipertimbangkan. Mungkin diantara kita masih ingat tayangan gulat ala Smackdown yang menyebabkan tewasnya beberapa anak buah hati orang tuanya? Atau tayangan-tayangan variety show dan sinetron yang sama sekali tidak mendidik dan hanya terkesan cari sensasi?. Ditambah lagi tayangan gossip infotainment yang tidak henti-hentinya mengekspos sensasi para selebritis, termasuk gaya hidup mewah dan kehidupan pribadi mereka? Termasuk pula pernikahan beberapa selebritis dengan biaya yang sangat fantastis di tengah kemeleraatan dan kemiskinan yang masih membelenggu dan membebani sebagian masyarakat kita.  

Teringat kembali perkataan Arswendo Atmowiloto yang mengatakan kalau TV itu yang penting kuantitas, bukan kualitas. Saya sendiri lupa di acara apa dia bicara seperti itu, tapi pada intinya TV itu tidak mementingkan karakter, latar belakang, tingkat pendidikan maupun embel-embel lainnya. Yang penting penontonnya banyak, rating iklannya tinggi dan akhirnya memberikan banyak keuntungan finansial pada stasiun TV yang menayangkan acara tersebut. Apapun alasan atau pembenaran yang diberikan, keuntungan finansial adalah tujuan utamanya.

Tentu tidak semua tayangan TV jelek, masih ada sedikit yang berguna dan bermanfaat, namun sayang ratingnya kurang memadai sehingga tidak diprioritaskan untuk bisa tayang pada jam-jam "prime time". Sangat disayangkan memang.

Perlu disyukuri, sebagaimana seringkali saya pantau di jejaring sosial seperti Facebook, banyak penggunanya yang mengatakan bahwa mereka sudah tidak punya TV lagi di rumahnya. Mereka yang masih punya TV pun sudah mulai membatasi penggunaan "kotak ajaib" tersebut. Hal-hal tersebut, walau masih belum terlalu besar dampaknya bagi masyarakat, sudah harus disyukuri dan diberi apresiasi serta dukungan yang memadai. Semoga di masa mendatang, akan makin banyak orang yang menyadari dampak negatif dari "kotak ajaib" bernama televisi itu dan bisa meminimalisirnya.